Teluk Yotefa
Letaknya yang melingkari sisi timur kota
Jayapura dan diapit hutan bakau/mangrove menjadikan Teluk Yotefa sebagai tempat berkembang-biota air seperti udang, kepiting dan udang serta memberikan panorama yang memukau di kawasan perairan Jayapura (
Gambar 1).
Di sisi lain, hutan bakau di Teluk Yotefa menjadi kawasan penyangga abrasi sungai dan abrasi laut yang mengancam penduduk di kawasan Kampung
Tobati dan Kampung Enggros serta Nafri yang merupakan kampung asli masyarakat setempat yang berdiam di sepanjang teluk ini (
Gambar 2).
Kawasan Teluk Yotefa yang terkenal karena panorama serta sumberdaya lautnya kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 372/Kpts/UM/6/1978 tertanggal 9 Juni 1978 dengan tujuan utamanya untuk menjaga kelestarian alamnya. Memiliki luas kawasan 1.659ha atau 165km
2 kawasan ini banyak memberikan harapan karena memiliki ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang yang berfungsi sebagai habitat ikan dan organisme laut lainnya, dan yang paling penting sebagai kawasan wisata laut di Jayapura.
Potensi ekosistem mangrove Yotefa
Pada garis pantai yang masih terlindung, potensi mangrove yang ada masih berada dalam kondisi yang baik kurang lebih sekitar 200m ketebalannya dari garis pantai dan sedikitnya terdapat tujuh jenis mangrove antara lain
Nypa fruticans (Nipa),
Rhizopora apiculata (Mangi-mangi),
R. mucronata (Mangi-mangi),
Ceriops tagal (Lolaro),
Sonneratia alba (Lolaro),
S. caseolaris (Lolaro) dan
S. ovata (Lolaro).
Dari komposisi mangrove yang ada, selain merupakan habitat bagi biota air di sekitarnya, juga dimanfaatkan oleh jenis burung tertentu sebagai habitat mereka juga. Beberap jenis burung yang sempat diamati di sekitar kawasan, antara lain
Pandion haliaetus (Elang tiram),
Alcedo azurea (Raja udang biru langit),
A. atthis (Raja udang erasia),
Egretta garzetta (Kuntul kecil),
E. sacra (Kuntul karang),
Gygis alba (Dara laut putih),
Paradisaea apoda (Cenderawasih besar),
Eclectus roratus (Nuri bayan),
Lorius lorry (Kasturi kepala hitam) dan
Sula leucogaster (Angsa batu coklat).
Dampak Pembangunan terhadap kelestarian Yotefa
Pengembangan wilayah Papua yang berjalan sangat cepat tanpa disadari memberikan konsekuensi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kawasan bakau yang tadinya mempunyai multifungsi semakin berkurang terlihat dari semakin merebaknya berbagai aktivitas pembangunan seperti pembangunan gudang barang, perumahan, supermarket, tempat hiburan, restoran, hotel, rumah sewa (
Gambar 3dan
4). Hutan bakau di daerah Entrop yang termasuk dalam kawasan Taman Wisata Teluk Yotefa mulai berangsur-angsur hilang tahun 1983 ketika Gubernur
Irian Jaya (Papua-Red) Izaac Hindom menetapkan Entrop menjadi areal Pasar dan Terminal Induk Kota Jayapura.
Pada tahun 2004 hasil survey Bapedalda Kota Jayapura terhadap parameter kualitas air laut di Teluk Yotefa pada tiga lokasi yaitu daerah Abe Pantai, kawasan rekreasi Pantai Tobati dan Enggros menunjukkan hasil yang menguatirkan. Di kawasan Abe Pantai misalnya kadar minyak dan lemak mencapai 8,19 mg/lt (standar 5mg/lt). Selain itu juga terdeteksinya keberadaan kandungan logam berat Chrom (Cr) yang telah mencapai 0,01 mg/lt, Timbal (Pb) telah mencapai angka 0,03 mg/lt serta kadar Merkuri (Hg) sebesar 0,02 mg/lt yang seharusnya tidak boleh ada dalam air dengan persyaratan kualitas air sehat.
Keberadaan ketiga jenis logam berat ini diduga akibat akumulasi dalam kurun waktu tertentu sebagai akibat aktivitas berbagai usaha industri yang berkembang akhir-akhir ini di Jayapura khususnya di sekitar perairan Teluk Yotefa (Hamadi, Entrop, Kotaraja, Abepura dan Jayapura), misalnya perbengkelan kendaraan bermotor misalnya merebak dengan pesatnya di sepanjang jalur Jayapura – Abepura – Abe Pantai. Penanganan limbah bengkel, sisa olie, minyak dan cairan berbahaya lainnya yang kurang baik tanpa disadari terbawa saluran air, sungai kecil yang kesemuanya bermuara di Teluk Yotefa. Akibat limpahan sampah industri dan rumah tangga lainnya telah membuat permukaan Teluk Yotefa di bagian-bagian tertentu kelihatan seperti berminyak. Kondisi ini semakin diperburuk dengan pembuangan limbah dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abepura, RS Bhayangkara di Kotaraja dan RS TNI AL di Distrik Jayapura Selatan yang kesemuanya bermuara di Teluk Yotefa.
Perkembangan kota Jayapura menjadi kota jasa, perdagangan, dan pariwisata sudah barang tentu harus didukung oleh fasilitas pelabuhan bongkar muat barang dan penumpang yang layak dan memenuhi syarat. Konsekuensi dari pertumbuhan arus bongkar muat kontainer yang begitu pesat yaitu perbaikan fasilitas penunjang yang memadai, diantaranya pembangunan dermaga kontainer dan lapangan penumpukan peti kemas, karena fasilitas yang ada sudah tidak mendukung disamping fasilitas dermaga yang sudah tua sehingga perlu pengembangan areal pelabuhan (
Gambar 5). Dikuatirkan dampak dari perluasan sarana pelabuhan ini yaitu konversi kawasan pesisir termasuk areal mengrove yang tersisa untuk penataan fasilitas pelabuhan yang akan dibangun.
Usaha mempertahankan kondisi kawasan
Keindahan alam Teluk Yotefa bukan hanya kiasan belaka, karena
Kelompok Musik Mambesak dari
Universitas Cenderawasih pada masa tenarnya di tahun 80-an pernah mempopulerkan keindahan pesona alam Teluk Yotefa melalui salah satu syair lagunya. Sejalan dengan pengembangan kota Jayapura yang semakin pesat, sepertinya pesona teluk Yotefa semakin memudar, karena nampaknya orang di sekelilingnya kurang peka mendengar keluhan Yotefa yang semakin hari semakin berat memikul beban moral kepopulerannya sebagai kawasan yang memiliki pesona alam pantai yang indah.
Langkah yang ditempuh Pemkab Kota Jayapura melalui penanaman 2000 bibit pohon bakau di sekitar Yotefa pada peringatan hari Lingkungan Sedunia, 5 Juni 2007 yang lalu cukup beralasan, karena ingin mengantisipasi kemungkinan bencana alam banjir dan abrasi laut dan arus gelombang pasang seperti yang dialami oleh Negara tetangga PNG pada tahun 2005 lalu yang pada akhirnya akan dirasakan oleh rakyat kecil yang mendiami Kampung Tobati, Enggros dan kawasan pertumbuhan Entrop.
Kondisi topografi kota Jayapura memang agak unik karena daerah yang tinggi (pegunungan) ditemukan pada bagian belakang sedangkan hamparan lahan datar dan laut di bagian depannya, sehingga tidak ada pilihan lain Pemkot Jayapura harus lebih proaktif untuk memikirkan penanganan limbah cair supaya tidak mencemari laut. Dalam era sekarang ini, jika penataan tata ruang kota yang dikembangkan tidak sesuai dengan peruntukan lahan dan tanpa melalui AMDAL, “karena kontribusinya cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah,” pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap lingkungan alam di sekitarnya seperti perubahan fisik bentang alam dan penangangan limbah yang dapat mengancam kehidupan mahluk hidup lainnya. Kerjasama antar instansi perlu dipertegas melalui pendekatan pengelolaan kolaborasi berbasis pemberdayaan masyarakat yang merupakan pemegang hak ulayat, karena jika masyarakat merasa memiliki kawasan, maka mereka akan berusaha untuk menjaga kelestarian kawasan dimana mereka tinggal. Usaha penyadaran terhadap masyarakat melalui tindakan advokasi perlu juga ditingkatkan. Semua usaha yang dilakukan perlu pula diikuti dengan upaya penegakan hukum yang serius misalnya pembuatan PERDA guna mengantisipasi tragedi lingkungan di Teluk Yotefa. Memulai sesuatu yang belum pernah dicoba memang terasa berat, tapi kalau tidak diupayakan, kapan angan-angan kan terwujud?